Apa yang salah dengan nilai 0?

"Tadi mas dapet nilai 0 bun di sekolah" ucapnya dengan nada yang tanpa rasa menyesal sedikitpun
Ia sepupu saya, masih kecil memang, kelas 1 sekolah dasar. Tapi, seringkali kejadian yang terjadi padanya membuat saya cukup mengelus dada, jika beberapa waktu yang lalu saya membagikan sejumlah pertanyaan darinya di akun facebook saya, maka kali ini ia membuat saya kembali berfikir, "Apa yang salah?"
Mendengar ucapan sang anak, bundanya lantas bertanya "Kenapa?"
Ternyata sang anak sudah beberapa kali lupa membawa PRnya dan menyebabkan ia tidak mendapatkan nilai untuk pekerjaan rumahnya. Sang bunda marah dan kemudian menelfon sang guru. Sekitar beberapa menit terjadi perbincangan diantara mereka. Sang bunda bertahan dengan argumennya bahwa tidak seharusnya sang anak mendapatkan nilai 0 hanya karena tidak membawa buku PRnya, sementara sang guru bertahan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan kebijakan sekolah dan memang diperlukan sebagai bentuk konsekuensi agar anak belajar tanggung jawab.
Akhirnya telefon diakhiri, namun saya bersyukur karena setidaknya perbincangan di telfon tadi berlangsung dengan tanpa didominasi emosi, walaupun setelahnya nampak kekesalan pada sang bunda yang beranggapan bahwa hal itu akan membuat sang anak menjadi down.

Sebagai seorang calon ibu di beberapa tahun yang akan datang, hal ini menarik menurut saya karena kelak akan menjadi bahan pembelajaran bagi saya tentang cara mengurus buah hati, nanti.

Namun yang saya bingungkan adalah tentang yang manakah yang benar seharusnya?
Apakah sebuah pemberian sanksi nilai 0 jika anak berulangkali tidak membawa PRnya adalah benar atau salah? dan bagaimana sikap seorang bunda seharusnya?

Belum pertanyaan dalam benak saya terjawab, sang bunda kali ini meluapkan kekesalannya pada sang anak.
"Mas kenapa nggak bilang sama bunda kalau nggak bawa PR dapat nilai 0?"
Dan jawaban sang anak yang polos benar-benar membuat saya terdiam. Apa jawabannya?
"Kan bundanya kerja, pulang malem terus"
Memang, kecerdasan sang bunda yang selama sekolah dulu selalu mendapatkan beasiswa itu akhirnya memberikan kesempatan sang bunda untuk bekerja sebagai koordinator humas di salah satu lembaga negara, hal itu bahkan seringkali mengharuskannya meninggalkan sang anak bersama nenek dan tantenya karena tugas beberapa hari ke luar kota.

Saya tahu dengan pasti tentang sepupu saya itu bahwa ia sebenarnya anak yang pintar. Dulu, sebelum saya disibukkan dengan kerja dan kuliah saya pernah beberapa kali menemaninya bermain sepulang dari TK, di sela-sela permainan yang kami lakukan saya sering menyisipkan beberapa pembelajaran, seperti misalnya kami melakukan tebak-tebakan nama hewan dengan bahasa inggris, belajar berhitung, atau mencari kata dengan tujuan agar ia belajar membaca, dan semua permainan itu dia lakukan dengan baik.
Menurut saya pribadi, tidak ada anak yang bodoh melainkan hanya belum mengerti, dan tidak ada anak yang nakal melainkan hanya bentuk cari perhatian yang salah saja. 

Dari kejadian tadi, saya beranggapan bahwa mungkin apa yang terjadi pada anak adalah bentuk hasil dari komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak itu sendiri, sementara guru dan sekolah adalah sebagai bentuk bantuan bagi orang tua untuk membentuk anak sehingga untuk mendapatkan karakter anak yang sesuai dengan apa yang diharapkan maka butuh adanya komunikasi yang juga terjalin dengan baik antara orang tua dengan anak. Dan saya fikir sekolah terbaik bagi seorang anak mungkin adalah seorang ibu. Pendidikan yang tinggi seorang ibu bukan berarti mengharuskannya menjadi pencari nafkah keluarga, tapi untuk menjadi pendidik yang jauh lebih baik di rumah, jikapun harus berkarir di luar, mungkin dengan pendidikan yang tinggi itu dapat menjadikannya sebagai pengatur waktu yang jauh lebih baik. Tapi, bukankah karir terbaik bagi seorang perempuan adalah dengan menjadi seorang ibu yang sempurna untuk anak-anaknya? Sempurna dalam arti bukan hanya sebagai ibu biologis semata. Dan mungkin akan jauh lebih baik jika pihak sekolah mengkomunikasikan masalah si anak kepada pihak keluarga, tentu masalah dalam hal ini adalah tentang anak yang berulang kali lupa membawa buku PRnya, dengan demikian orang tua dan keluarga di rumah mendapatkan sedikit bentuk teguran.

Mungkin juga hal-hal seperti ini lah yang akhirnya membentuk wajah pendidikan Indonesia seperti sekarang yang penuh dengan bentuk ketidakpercayaan orang tua kepada guru dan kekerasan anak oleh guru serta kekerasan orang tua kepada guru.

Entah anggapan saya ini benar atau tidak, menurut reader bagaimana?


Comments

Popular posts from this blog

Membuat Progress Bar dengan C++

Resensi Film Negeri 5 Menara