Aku Muslim dan Sebuah Yayasan Non-Muslim


Saya muslim dan saya terlahir dari keluarga muslim, ayah saya adalah lulusan dari salah satu sekolah yang dinaungi yayasan pendidikan islam di Jakarta, adik-adik saya sekolah di sekolah menengah pertama yang juga dipimpin oleh yayasan pendidikan islam, dan saya sangat bangga terhadap cara orang tua saya mendidik anak-anaknya, mereka selalu berusaha untuk bersikap adil sebaik mungkin, mereka tidak pernah memperlakukan keputusan yang sama untuk setiap anaknya, mereka juga sosok yang tegas tapi tidak memaksa, jika saya selalu mengikuti semua keputusannya dulu, ya itu karena saya memang tidak punya pengalaman sehingga tidak berani untuk menolak, termasuk saat beliau memutuskan saya untuk menimba pendidikan di sekolah menengah pertama yang dinaungi oleh sebuah yayasan non-muslim. 

Saya Meirina Suci Ridha, lulusan dari Madrasah Diniyah Irsadul Aulad kemudian tercatat sebagai
siswi SMP Mardi Yuana Cikembar dibawah naungan Yayasan Mardi Yuana



SMP Mardi Yuana Cikembar adalah sekolah tertua di daerah Cikembar, Ibu saya pun alumni sekolah tersebut. Sekolah yang satu ini memang dipercaya oleh kedua orang tua saya memiliki kedisiplinan yang sangat baik dengan berbagai Tata Tertib dan guru-gurunya yang tak segan untuk memberikan hukuman tanpa pandang bulu, tidak peduli dia anak tentara, polisi, guru, pendeta ataupun seperti saya yang orang muslim biasa (memang banyak sekali anak tentara dan polisi yang bersekolah di sana).
Bagi orang tua saya, kedisiplinan adalah hal utama yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah, karena itulah mereka memutuskan untuk menyekolahkan saya di sana.


Kakek saya yang saat itu menjadi Ketua Komite di SMPN II Cikembar menentang keputusan ayah saya dan menginginkan agar saya masuk ke SMPN II Cikembar yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah, atau SMPN I Cikembar yang merupakan salah satu sekolah negeri dengan akreditas A di Cikembar. Tapi ayah saya punya pertimbangannya sendiri yang sudah tentu ia pikirkan baik-baik. Walaupun ternyata saat proses penerimaan siswa baru saya hanya ditemani oleh Pak Heru yang juga kakak kelas ibu saya dulu waktu di SMP, padahal jika kebanyakan orang tua masih mendampingi putra/i nya selama proses penerimaan siswa baru. Kedua orang tua saya memang tidak pernah berusaha untuk memanjakan saya perihal segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah. Mereka tidak pernah datang mengantarkan makanan saat saya sedang mengiuti Perkemahan Sabtu Minggu di SD dulu walaupun saya adalah siswi pindahan yang baru tinggal beberapa hari di daerah dengan iklim yang sangat berbeda dengan kota sebelumnya dan walaupun sebelumnya saya tidak pernah menginap dengan siapapun sekalipun di rumah kakek-nenek saya jika tanpa mereka. Apalagi harus datang ke acara perlombaan yang saya ikuti, mereka tidak pernah datang sama sekali. Mereka berbeda dengan kebanyakan orang tua dari teman-teman sekelas saya waktu itu.

Setelah diterima sebagai Siswi di SMP Mardi Yuana Cikembar, saya harus mengikuti tes untuk penentuan kelas. Saat itu akhirnya saya bertemu dengan mereka para siswa baru yang akan menjadi teman saya selama 3 tahun kedepan. Kami berasal dari sekolah yang berbeda, agama yang berbeda dan latar belakang keluarga yang berbeda. Sebagian besar dari mereka memiliki teman yang sudah mereka kenal sebelumnya. Berbeda dengan saya yang hanya sendirian dari sekolah asalku (daerahnya pelosok pula heh). Hehe tapi saya tidak benar-benar sendirian karena ternyata ada dua orang siswi lain (Ganis dan Fanny) yang berasal dari Madrasah Diniyah yang sama dengan saya dulu, namun mereka adalah lawan dari kata teman dengan saya, wkwkwkwk. Hehe karena dulu waktu di MD saya pernah ada sedikit cerita yang lucu (bagi saya) dengan 'Ketua Geng' mereka yang tak lain adalah kakak kelas saya + anak lelaki dari si Kepala Madrasah. Yah biasa lah, saya kan murid baru, jadi bahan bully oleh dia dan gengnya. Hehe habis gimana ya, wong saya kan orangnya nggak sabaran, awalnya mereka sering narik-narik kerudung saya dari belakang, terus sepeda saya dikempesin, sampai terakhir kursi saya disembunyikan, yasudahlah biasanya saya diam (karena ingat sedang berkerudung jadi nggak berani nakal hehe) akhirnya saat itu saya datangi si anak kepala sekolah dengan nafas yang sudah tidak bisa saya kontrol ritmenya. Tapi saya nggak macama-maacam kok, cuma narik kerah bajunya, saya pelototin, terus dengan ringan tangan saya gerak, habis itu saya langsung pergi kok. Hehe sejak saat itulah mereka menaruh rasa tidak sukanya pada saya.
Tapi perasaan itu tidak berlangsung selamanya, semenjak kami berada di kelas yang sama, kami pun menjadi sahabat.

Semester pertama di sana adalah menjadi salah satu ujian.
Saya bertemu dengan seorang saingan yang sangat cerdas, seorang anak laki-laki bernama Cita Essaudi Hasiholan Sormin, putra dari seorang Guru di SDK. Nilai kami selalu saja berselisih tipis dalam setiap mata pelajaran. Terkadang saya lebih unggul, tapi di lain waktu dia yang lebih unggul.
6 tahun menempuh pendidikan di Sekolah Dasar dengan hasil yang selalu keluar menjadi Ranking 1 di kelas, tiba-tiba saja harus terpatahkan saat pengambilan rapor semester tujuh. Saya sampai sekarang tidak pernah tega untuk membayangkan betapa sakitnya hati Ibu saya yang mengambil rapor waktu itu. Bukan 1, tapi 3. Saya hanya bisa mengutuk kebodohan saya.
Dalam hati, saya sangat takut untuk pulang menemui ayah saya di rumah mengingat beliau dan tatapannya yang sinis setiap kali saya tidak mendapatkan nilai terbaik di kelas. Saya juga sangat malu jika harus bertemu dengan keluarga dan tetangga yang selalu memuji saya karena ranking saya dulu.
Sebelum pulang ayah Cita mendekati saya, ia berkata pada saya:
"Ditunggu ya pembalasannya sama si Cita"
Dan cita juga menyampaikan hal yang sama
"Aku tunggu pembalasan kamu, Ci"
Ucapan mereka menjadi semangat yang tersembunyi di balik rasa marah saya saat itu. Dan saya berjanji pada diri saya bahwa saya akan membalasnya.

Sampai rumah saya hanya bisa menangis dan mengurung diri di kamar, tidak berani untuk menemui siapapun, apalagi Ayah dan Kakek, karena kakek saya selalu saja membangga-banggakan saya kepada semua orang karena prestasi yang saya punya di sekolah. Setiap saat saya hanya berharap agar semester selanjutnya dapat segera dimulai, agar saya tidak melulu menghabiskan waktu di kamar, dan agar saya bisa segera balas dendam.
Suatu hari akhirnya saya memberanikan diri untuk keluar dari kamar dan bergabung dengan yang lain sambil menonton tv. Tiba-tiba aya saya mengucapkan kalimat yang membuat saya tersadar sekaligus kembali merasa hancur
"Percuma mau sepintar apa juga kalo nggak ingat Tuhan"
Iya, selama ini aku terlalu sombong, sholat sih sholat tapi karena itu kewajiban, ngaji sih ngaji tapi karena di suruh. Saya lupa meminta pada Tuhan untuk tetap menjaga ranking yang saya raih selama ini. Sebelumnya yang saya tahu bahwa degan belajarlah saya mampu membuat nama orang tua saya disebut-sebut dan diucakan selamat saat kenaikan kelas. Saya lupa pada Nya yang telah memberikan akal kepada saya untuk berfikir.

Semester selanjutnya saya menepati janji saya untuk  membalasnya. Saya dan Cita tidak hanya bersaing di kelas, kami juga bersaing dalam pemilihan ketua OSIS, dan tahun 2008 saya menjadi Ketua OSIS didampingi oleh Cita sebagai Wakilnya. Kami bersaing dalam banyak hal, tapi dengan cara yang sportif. Persaingan seperti itulah yang selalu saya rindukan dan sampai saat ini hanya dia yang mampu memberikan saya persaingan seperti itu.

Bersekolah di sana adalah sesuatu yang berbeda, kami para siswa tidak hanya berdebat saat sedang presentasi, tapi juga saat istirahat, bedanya jika di kelas yang kami perdebatkan adalah tentang teori di salah satu presentasi pada suatu mata pelajaran, tapi di luar kami memperdebatkan tentang agama yang kami anut. Setiap orang mmengunggulkan agamanya, dan mencari celah dari agama yang lain agar bisa menunjukkan bahwa agamanya lah yang terbaik. Begitu pun denganku. Selalu ada rasa ego untuk menunjukkan bahwa Islam lah agama yang terbaik.
Coba tebak apa yang paling sering menjadi perdebatan diantara kami? Yup, tentang "Isa", tentang siapakah Isa yang sebenarnya. Dari sana akhirnya bahan perdebatan menjalar ke hal lain yang menjadi perbedaan di antara kami. Hal ini selalu berlangsung setiap harinya ketika istirahat sedang berlangsung, walaupun saat di kelas maka kami kembali menjadi teman sekelas dan di organisasi kami kembali menjadi rekan satu organisasi.
Tapi hal ini tidak berlangsung lama, hanya di tahun pertama. Masuk ke tahun ajaran yang ke-dua kami sepakat dengan
 "Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Aku bukan orang yang melulu berbuat baik, tapi bukan berarti agamaku dan umat dari agamaku juga tidak baik. 
Jangan ganggu apa pun yang ada hubungannya dengan agamaku, maka aku pun tidak akan mengganggu agama mu.
Jika ada sesuatu dari ajaran agamaku yang tidak sesuai dengan agamamu maka biarkanlah itu untukku dan untuk dikabarkan kepada umat dari agamaku dan hal lain yang menjadi keyakinanmu, biarlah itu menjadi untukmu dan untuk kamu kabarkan kepada umat dari agamamu."

dan masing-masing dari kami tetap dengan kepercayaan kami di awal, yaitu
"Agamaku lah yang terbaik."

Akhirnya saya mengerti kenapa orang tua saya memutuskan saya untuk bersekolah di sebuah sekolah yang bernaung di sebuah Yayasan Non-Muslim. 

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Progress Bar dengan C++

Apa yang salah dengan nilai 0?

Resensi Film Negeri 5 Menara